Perlu diingat bagaimana wartawan bekerja setiap hari. Banyak yang bekerja dibawah tekanan, didalam kondisi bising dan sesak. Berebut mendapatkan sebuah informasi. Perkerjaan wartawan saya rasa adalah pekerjaan yang tidak tahu waktu, tidak tahu tempat, atau dengan siapa wartawan tersebut akan berurusan nantinya. Belum lagi persaingan sesama media untuk menjadi yang terupdate, teraktual, tereksklusif, dan anti mainstream.
Walaupun demikian, wartawan selalu bisa memutar otak untuk mencapai target mereka di media, apakah itu kepentingan pribadi ataupun publik yang akan menjawab tanya khalayak. Seperti di dalam film Mad City yang diperankan oleh Dustin Hoffman (Max) dan John Travolta yang masih muda sekali (Sam), diperlihatkan dengan jelas dan tanpa tersirat bagaimana wartawan dan media bekerja. Salah satunya dengan membentuk opini publik.
Diawal film, Max Brackett seorang wartawan yang sedang meliput sebuah museum tidak sengaja terjebak didalam situasi antara Mrs. Banks yang merupakan mantan atasan Sam Balley yang meminta (paksa) kembali pekerjaannya demi menghidupi istri dan anaknya. Selama meminta paksa kembali pekerjaannya, tanpa direncanakn ia melakukan penyanderaan terhadap orang-orang yang berada di dalam museum termasuk Mrs. Banks, seorang guru beserta murid-muridnya, dan menembak mantan rekan kerjanya sendiri, seorang pria berkulit hitam. What a mess you’ve made, dude.

 
Di luar museum sudah dikelilingi oleh mobil polisi dan wartawan-wartawan dari stasiun tv lain. Max melakukan siaran untuk merubah opini awal publik yang menggambarkan bahwa Sam adalah seorang penjahat menjadi seseorang yang tertekan secara psikologis setelah di PHK. Dalam melakukan pembelaan kepada Sam ini, tidak semata hanya meluruskan kejadian yang sebenarnya. Dibalik itu ada bayang-bayang untuk menaikkan rating, dan menjadi seorang reporter yang dipandang.
Things went well at the beginning. Publik percaya dan Sam mendapat simpati masyarakat. Diperkuat dengan adanya slogan, spanduk, kaos yang menjamur di masyarakat.  Namun persaingan media memunculkan pelanggaran etika pers yangjuga membentuk opini-opini publik yang baru bahkan sudut berita yang menyesatkan, biar ngga dikata followers.
Seseroang yang entah siapa pun, dibayar menjadi narasumber palsu untuk meruntuhkan image penuh simpati Sam menjadi seseorang berbeda, temperamental dan arogan. Mantan rekan kerja Sam yang tak sengaja ia tembak pun ikut menjadi korban (lagi). Selain dipandang dari warna kulitnya, privasinya pun tidak dihargai saat diopname dirumah sakit. Seorang reporter dan kameramen menjangkau kamarnya dengan lift pembersih kaca gedung, dan menyorotnya yang sedang beristirahat melalui jendela kamar. Selain itu, tabloid juga menawarkan sejumlah uang untuknya agar bersedia diwawancara.

 
Berita mengenai Sam terus berkembang dan menjadikan persaingan antar reporter yang memiliki kepentingan rating. Tak cukup dengan image Sam yang mulai memburuk, berita tentang Sam menjadi kepentingan media dan tidak lagi mementingkan kebenaran berita dan mengindahkan etika pers. Hal ini berujung pada trial by press, menyebabkan Sam meledakkan dirinya degan dinamit yang membuat Max berkata, we killed him.
I’ve been there, kid.
I’ve been there.

Mengeluh mulu karena ngerasa ngga didengerin? Ngerasa ngga punya opini sendiri karena seringkali terjebak disituasi untuk menghormati pendapat saudara kamu yang lebih tua dan menyesuaikan keinginan adikmu, yang lebih kecil?
Kamu dituntut untuk mengerti lebih cepat. Kamu di setting untuk menjadi dewasa ketika umurmu masih belia. Kamu dianggap bisa memutuskan dan fleksibel dalam mengambil keputusan di kehidupan sehari-harimu. You're forced to deal with what you feel.
Itu bagi mereka. Tapi bagi dirimu sendiri?

To you, you are invisible.

But, have you ever realize? Barangkali kamu sering menjadi penengah diantara yang lebih tua dan yang paling muda. Dan kamu tau, kamu menjadi perekat bagi kakak adikmu. Kamu adalah penyelamat. You’re more than just invisible. You are invincible.
You’ve been so strong. You have a nice personality. Me as a middle child of three sisters—will tell you the perks of being middle child.

You just don’t see, you observe.
I don’t know if it’s just me or you experienced the same, you’ll tend to seek the reason of something. You’re curious of whys.  You’re trying to understand why people acting in some way. When talking you’re wondering why people choosing some words. When you’re with friends, you know there’s several reasons from the way your friends responding each other. Why would they do that?  

You’re a damn reader. You read situation.
Since you’re an observer, you obviously read. You can feel the atmosphere, or maybe you read them as well. You know when the atmosphere is getting warm and vice versa. You know when someone is feeling uncomfortable, feeling uninterested, feeling small, being loud, being anything. In some cases maybe you just know it even before it happen. Lucky you, by knowing this you can avoid some situation before it get worse. Lol.

You act wisely.
You observe, you read, and it will lead you to act wisely. It’s like you’re predicting the possible consequences of any situation. You more likely to handle conflicts and avoid conflicts before it gets bad or worse. See, you’re that cool.

You’re such an understanding kid.
You put yourself in everyone’s shoes. Is this idiot? No. Especially if you are kind of perfectionist person, this help you on every level. Sounds so arrogant but you can’t deny the fact that you know people just like that. It’s not that you have a supernatural thingy, it’s because you’re a middle child. Know your potential! lol

You’re the humblest one among your sisters or brothers.
if you’re an altruism one. Even if you aren’t, I still think you’ll be the humblest one. You’re mature enough to make a right decision and make everyone happy. Ah, you’re just being fair.

You’re a quick learner.
You absolutely are. I think I know you know why. If you don’t… aren’t you wondering?

You’re awesome.
There’s no doubt to that.

All the things I mentioned are my opinion as a middle child for at least 20 years. At the end it’s about a choice. Are you being that altruism middle child like me, or not at all. You decide. But sure as hell I would like a chance (or maybe chances) to always learn from being what I am. I guess I learned some.

Kasus tentang seorang wanita yang meninggal disebabkan menyeruput es kopi Vietnam mengalihkan fokus pemberitaan media yang biasanya hanya membahas seputar kasus korupsi, politik, dan isu-isu lainnya. Kasus ini melibatkan dua sosok wanita paling disorot saat ini yakni Jessica Kumala Wongso yang merupakan tersangka dan Wayan Mirna Salihin sang korban. Kejadian tragis tersebut terjadi pada 6 Januari 2016 di Oliver Café, West Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat.

Dari paparan beberapa media online yakni liputan6.com dan kompas.com telah menyajikan berita yang sewajarnya dan   apa adanya tanpa menyinggung, menyudutkan, atau memihak salah satu pihak. 

Dari beberapa judul berita, pers/wartawan telah menyampaikan informasi untuk memenuhi keingintahuan pembaca mengenai kasus tersebut. Salah satu berita liputan6.com menjelaskan fakta-fakta mengenai Jessica teman ngopi Mirna. Artikel tersebut menjelaskan alasan-alasan dan fakta-fakta tentang kronologi kejadian meninggalnya Mirna di kafe tersebut. Dalam pemaparan fakta-fakta tersebut, dilandasi oleh keterangan dari anggota Reskrim Polda Metro Jaya, Jessica, dan Hanny seorang saksi mata. Tidak dengan menuliskan opini atau berita yang belum tentu benar.

Bahkan pada sebuah artikel di kompas.com, ditegaskan bahwa fakta-fakta yang telah ditemukan polisi merupakan sebatas fakta yang didapat untuk mengusut kasus,bukan untuk menuding siapa yang menjadi pembunuh Mirna.

Tetapi sebelum Jessica resmi ditetapkan sebagai tersangaka, media terlihat menyudutkan Jessica. Wartawan memberitakan kasus ini lebih mengarah kepada Jessica walaupun pada saat kejadian di lokasi ada Hanny, teman sekaligus saksi mata kejadian tersebut.